Menjadi Buruh di Tanah Sendiri
Bayang tubuh petani memanjang di atas benih padi yang menghijau di tanah
garapan. Di pinggiran Cianjur, Icoh (50) mencelupkan kaki ke saluran
pengairan di bagian yang lebih rendah dari sawah milik juragannya dari
Bandung.
Lumpur yang menempel di kakinya larut terbawa arus air.
Dibasuhnya pula tangannya dengan air sungai itu. Derasnya arus air
meluruhkan sisa tanah itu, sejenak tangannya yang basah dikibas-kibaskan
agar cepat mengering.
Ketika waktu
makan
tiba, dibukanya bekal dari rumah. Sebungkus nasi putih, sambal, dan
ikan asin. Nikmatnya melarutkan penat setelah bekerja sejak petak-petak
sawah dihujani cahaya matahari pagi.
Bersama tujuh perempuan
lain, Icoh datang berombongan dari Desa Jambudipa, Kecamatan
Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat. Siang itu mereka bersama-sama
membuka bekal yang mereka bawa dari rumah. Mereka saling membagikan lauk
yang dibawa dari rumah, menikmatinya sambil bercakap-cakap.
Di
tanah Cianjur yang subur, Icoh adalah generasi kedua buruh tani di
keluarganya. Kakek dan neneknya telah menjual tanah keluarga karena
terdesak berbagai kebutuhan. Karena itu pula, Icoh tidak lagi dapat
meninggalkan tanah pertanian kepada dua anaknya.
Untuk masa
depan, mereka, tutur Icoh, haruslah bekerja sebagai buruh juga, entah
sebagai buruh tani atau pekerja di kota. Hal serupa dialami oleh Aep
Saepudin (48), warga Desa Songgom, Kecamatan Gekbrong, Jawa Barat. Aep
juga buruh tani seperti Icoh. Orangtuanya telah menjual sebidang tanah
keluarga semasa Aep kecil.
Icoh dan Aep adalah contoh kecil dari
sekian ribu buruh tani yang menjadi bagian dari alur padi di kawasan
lumbung padi, seperti Cianjur. Meskipun tidak setiap hari menjual tenaga
mereka, dalam sebulan, rata-rata hanya dua sampai tiga minggu tenaga
buruh itu dibutuhkan pemilik lahan.
Beralihnya kepemilikan lahan
dan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri
membuat warga, seperti Icoh dan Aep, terpinggirkan dalam pertarungan
perebutan sumber ekonomi. Sebagai petani, mereka tak memiliki lahan
pertanian sebagai modal utama.
Dalam arus itu, mereka hanya
menjadi penonton atau sekadar menjadi aktor pinggiran. Proses peralihan
kepemilikan lahan dari petani di Cianjur kepada pemodal dari Bandung,
Bogor, dan Jakarta telah menciptakan buruh-buruh tani di tanah sendiri.
Tidak mengherankan jika saat ini makin sulit menemukan petani yang
tengah menggarap tanah mereka sendiri.
Tanpa kepastianMenjadi
buruh tani sebetulnya merupakan hidup tanpa kepastian. Perbedaan antara
keberhasilan dan kegagalan panen tipis. Namun, apa daya, makin minimnya
luas lahan pertanian dan desakan kebutuhan membuat Icoh dan Aep tidak
punya banyak pilihan.
Tentu saja kondisi itu berpengaruh pada
hidup mereka. Mereka harus mencukupkan diri dengan hasil yang sangat
kecil. Apalagi, buruh tani umumnya memiliki posisi tawar yang sangat
rendah di hadapan pemilik lahan. Buruh laki-laki mendapat upah Rp 15.000
per hari, sedangkan buruh perempuan mendapat Rp 10.000 per hari. ”Kalau
mau dibilang tidak cukup, ya memang tidak cukup. Namun, mau bagaimana
lagi, tak ada pekerjaan lain,” kata Aep.
Dengan upah sebesar itu,
Aep hanya bisa membeli beras dua liter, ikan asin atau teri, garam, dan
sedikit minyak goreng. Kebutuhan sekolah anak-anaknya mesti dicukupkan
dari upah istrinya yang juga menjadi buruh.
Namun, jika memiliki
cukup modal, mereka dapat menyewa lahan dan menggarapnya. Di Cianjur
umumnya hubungan pemilik tanah dan penggarap adalah ”maro”. Buruh tani
harus menyediakan sendiri prasarana produksi, mulai dari buruh
pencangkul, benih, hingga pupuk. Namun, ketika waktu panen tiba, separuh
hasil harus penggarap serahkan kepada pemilik lahan. Risikonya, kalau
terjadi gagal panen, para penggarap akan kehilangan modal kerja.
Sebaliknya, pemilik tanah tidak kehilangan apa pun selain kesempatan
mendapatkan hasil paruhan.
Ironisnya, kendati hidup dalam
keterbatasan, tak semua buruh dan penggarap itu tersentuh program
jaminan sosial dari pemerintah, seperti bantuan langsung tunai, program
keluarga harapan, dan beras untuk rakyat miskin. Untuk bertahan hidup,
para buruh dan penggarap itu tinggal menggantungkan hidup pada rasa
solidaritas dan gotong royong.
Program pemerintah
Kepala
Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Cianjur Sudradjat Laksana
mengakui, hanya keluarga sasaran yang bisa memperoleh fasilitas jaminan
sosial dari pemerintah pusat. Keluarga miskin yang tidak memperoleh
jaminan sosial itu sesegera mungkin akan dilindungi dengan menggunakan
program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) mandiri.
”PNPM sedang berjalan. Semoga pada triwulan terakhir 2008 ini sudah bisa direalisasikan di masyarakat,” kata Sudradjat.
Menurut
dia, PNPM mandiri merupakan program yang mengomunikasikan kebutuhan
masyarakat di setiap wilayah sehingga bentuk kebutuhan mereka akan
berbeda-beda. Berdasarkan hasil komunikasi itu, pemerintah akan
memberikan bantuan yang umumnya untuk menggerakkan ekonomi berbasis
usaha mikro.
Pada masa lalu, Cianjur dikenal karena produk
pertaniannya, terutama padi. Reiza D Dienaputra dalam buku Sejarah
Kota-kota Lama di Jawa Barat (2003) menuliskan, sebagaimana penduduk
Priangan lainnya, penduduk Cianjur yang berlatar belakang etnis Sunda
pada umumnya berprofesi sebagai petani. Masuknya VOC ke Cianjur secara
perlahan memperluas pilihan bagi rakyat Cianjur untuk memilih jenis
pekerjaan lain. Perluasan itu berimbas pada perkembangan sistem
pelapisan sosial masyarakat. Muncullah kelas sosial, seperti pemilik
tanah luas, pemilik tanah sempit, dan penyewa tanah.
Ratusan
tahun berlalu, wajah Cianjur saat ini sudah banyak berubah. Proses
peralihan kepemilikan tanah terus berlangsung. Nah, kali ini, ketika
pemerintah hendak mengembangkan masyarakatnya, apakah program-program
yang ditawarkan akan mampu mengembalikan petani menjadi pemilik-pemilik
lahan pertanian lagi dan tidak menjadi buruh di tanah mereka sendiri?
Semoga....
Opini : sekarang memang susah mendapatkan keadilan dinegara sendiri karena orang orang atas pun tidak mempedulikan orang lain dia hanya mementingkan dirinya dan hartanya sendiri.